Panduan Puasa Ramadhan Di Bawah Naungan Al-Qur’an Dan
As-Sunnah [1]
Ust.
Dzulqarnain Bin Muhammad Sunusi Al-Atsary
Berikut ini
kami ketengahkan ke hadapan para pembaca tuntunan puasa Ramadhan yang benar,
berupa kesimpulan-kesimpulan yang dipetik dari Al-Qur`an dan
Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam yang shohih.
Tulisan ini
kami sarikan dari pembahasan luas dari berbagai madzhab fiqh dan kami uraikan
dengan kesimpulan-kesimpulan ringkas agar menjadi tuntunan praktis bagi setiap
muslim dan muslimah dalam menjalankan puasa Ramadhan.
Harapan kami
mudah-mudahan bermanfaat bagi segenap kaum muslimin dan muslimat dalam
menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang mulia. Amin Ya
Rabbal ‘Alamin.
1. Beberapa
Perkara Yang Perlu Diketahui Sebelum Masuk Ramadhan.
*
Tidak boleh berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud
berjaga-jaga jangan sampai Ramadhan telah masuk pada satu atau dua hari itu
sementara mereka tidak mengetahuinya. Adapun kalau berpuasa sehari atau dua
hari sebelum Ramadhan karena bertepatan dengan kebiasaannya seperti puasa
Senin-Kamis, puasa Daud dan lain-lain, maka hal tersebut diperbolehkan.
Seluruh hal
ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat
Al-Bukhary dan Muslim, Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam bersabda :
لَا
تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلَّا رَجُلًا كَانَ
يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Jangan
kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali seseorang
yang biasa berpuasa dengan suatu puasa tertentu maka (tetaplah) ia berpuasa.”
*
Penentuan masuknya bulan adalah dengan cara melihat Hilal. Hilal adalah bulan
sabit kecil yang nampak di awal bulan.
Dan bulan
Islam hanya terdiri dari 29 hari atau 30 hari, sebagaimana dalam hadits
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary
dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam tatkala menyebut bulan Ramadhan beliau berisyarat dengan kedua
tangannya seraya berkata :
الشَّهْرُ
هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثُمَّ عَقَدَ إِبْهَامَهُ فِي الثَّالِثَةِ
فَصُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ
فَاقْدُرُوْا لَهُ ثَلَاثِيْنَ
“Bulan (itu)
begini, begini dan begini, kemudian beliau melipat ibu jarinya pada yang ketiga
(yaitu sepuluh tambah sepuluh tambah sembilan,-pent.), maka puasalah kalian
karena kalian melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian karena kalian
melihatnya, kemudian apabila bulan tertutupi atas kalian maka genapkanlah bulan
itu tiga puluh.”
Maka untuk
melihat hilal Ramadhan hendaknya dilakukan pada tanggal 29 Sya’ban
setelah matahari terbenam. Selang beberapa saat bila hilal nampak maka telah
masuk tanggal 1 Ramadhan dan apabila hilalnya tidak nampak berarti bulan
Sya’ban digenapkan 30 hari dan setelah tanggal 30 Sya’ban secara
otomatis besoknya adalah tanggal 1 Ramadhan.
*
Apabila hilal telah terlihat pada satu negeri maka diharuskan bagi seluruh
negeri di dunia untuk berpuasa. Ini merupakan pendapat Jumhur ‘Ulama yang
bersandarkan kepada surat Al-Baqaroh ayat 185 :
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka
barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga
dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat
Al-Bukhary dan Muslim yang tersebut di atas dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
صُوْمُوْا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمْ الشَّهْرُ
فَعَدُّوْا ثَلَاثِيْنَ
“Berpuasalah
kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila
bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Ayat dan dua
hadits di atas adalah pembicaraan yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin
di manapun mereka berada di belahan bumi ini, wajib atas mereka untuk berpuasa
tatkala ada dari kaum muslimin yang melihat hilal.
2. Niat
Dalam Puasa
*
Tidak diragukan bahwa niat merupakan syarat syahnya puasa dan syarat syahnya
seluruh jenis ibadah lainnya sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasululllah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dalam hadits ‘Umar bin
Khaththab radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan
Muslim :
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَىَ
“Sesungguhnya
setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya dan setiap orang hanyalah mendapatkan
apa yang ia niatkan.”
Karena itu
hendaknyalah seorang muslim benar-benar memperhatikan masalah niat ini yang
menjadi tolak ukur diterima atau tidaknya amalannya. Seorang muslim tatkala
akan berpuasa hendaknya berniat dengan sungguh-sungguh dan bertekad untuk
berpuasa ikhlash karena Allah Ta’ala.
*
Niat tempatnya di dalam hati dan tidak dilafadzkan. Hal ini dapat dipahami dari
hadits di atas.
*
Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa untuk berniat semenjak malam harinya
yaitu setelah matahari terbenam sampai terbitnya fajar subuh.
*
Dan kewajiban berniat dari malam hari ini umum pada puasa wajib maupun puasa
sunnah menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
*
Dan tidak dibenarkan berniat satu kali saja untuk satu bulan bahkan diharuskan
berniat setiap malam menurut pendapat yang paling kuat.
Tiga point
terakhir berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshoh radhiyallahu
‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sama hukumnya dengan
hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam) dengan sanad yang shohih :
مَنْ لَمْ
يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang
tidak berniat puasa dari malam hari maka tidak ada puasa baginya.”
* Apabila
telah pasti masuk 1 Ramadhan dan berita tentang hal itu belum diterima kecuali
pada pertengahan hari, maka hendaknyalah bersegera berpuasa sampai maghrib
walaupun telah makan atau minum sebelumnya dan tidak ada kewajiban qodho`
atasnya sebagaimana dalam hadits Salamah Ibnul Akwa’ riwayat Al-Bukhary
dan Muslim, beliau berkata :
بَعَثَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ
أَسْلَمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤْذِنَ فِي النَّاسِ مَنْ كَانَ
لَمْ يَصُمْ فَلْيَصُمْ وَمَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ صِيَامَهُ إِلَى
اللَّيْلِ
“Rasululllah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mengutus
seorang laki-laki dari Aslam pada hari ‘Asyuro` (10
Muharram,-pent.) dengan memerintahkannya untuk mengumumkan kepada manusia siapa
yang belum berpuasa maka hendaklah ia berpuasa dan siapa yang telah makan maka
hendaknya dia sempurnakan puasanya sampai malam hari.”
3. Waktu Pelaksanaan Puasa
Waktu puasa
bermula dari terbitnya fajar subuh dan berakhir ketika matahari terbenam. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah
Al-Baqaroh ayat 187 :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan
dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam
yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
4. Makan Sahur
*
Makan sahur adalah suatu hal yang sangat disunnahkan dalam syari’at Islam
menurut kesepakatan para ulama. Hal itu karena Rasululllah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangat menganjurkannya dan
mengabarkan bahwa pada sahur itu terdapat berkah bagi seorang muslim di dunia
dan di akhirat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik riwayat Al-Bukhary
dan Muslim :
تَسَحَّرُوْا
فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Bersahurlah
kalian karena sesungguhnya pada sahur itu ada berkah.”
Bahkan
beliau menjadikan sahur itu sebagai salah satu syi’ar (simbol) Islam yang
sangat agung yang membedakan kaum muslimin dari orang–orang yahudi dan
nashroni, beliau bersabda dalam hadits ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu
‘anhu riwayat Muslim :
فَصْلُ مَا
بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحْرِ
“Pembeda
antara puasa kami dan puasa ahlul kitab adalah makan sahur.”
* Dan juga
disunnahkan mengakhirkan sahur sampai mendekati waktu adzan subuh, sebagaimana
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
memulai makan sahur dalam selang waktu membaca 50 ayat yang tidak panjang dan
tidak pula pendek sampai waktu adzan sholat subuh. Hal tersebut dinyatakan
dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu riwayat
Al-Bukhary dan Muslim :
تَسَحَّرْنَا
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا
إِلَى الصَّلَاةِ. قُلْتُ : كَمْ كَانَ قُدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ خَمْسِيْنَ
آيَةً
“Kami
bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam kemudian kami berdiri untuk sholat. Saya berkata (Anas bin Malik
yang meriwaytkan dari Zaid,-pent.) : “Berapa jarak antara keduanya (antara sahur
dan adzan)?”. Ia menjawab : “Lima puluh ayat”.”
* Dan
dari hadits di atas, juga dapat dipetik kesimpulan akan disunnahkannya makan
sahur secara bersama.
*
Dan sebaik-baik makanan yang dipakai bersahur oleh seorang mu’min adalah korma.
Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat
Abu Dawud dengan sanad yang shohih, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
نِعْمَ
سَحُوْرُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik
sahur seorang mu’min adalah korma.”
* Batas
akhir bolehnya makan sahur sampai adzan subuh, apabila telah masuk adzan subuh
maka hendaknya menahan makan dan minum. Hal ini sebagaimana yang dipahami dari
ayat dalam surah Al Baqoroh ayat 187 :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan
dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam
yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
* Apabila
telah yakin akan masuk waktu subuh dan seseorang sedang makan atau minum maka
hendaknyalah berhenti dari makan dan minumnya. Ini merupakan fatwa Al-Lajnah
Ad-Daimah yang diketuai oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah,
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy dan beberapa ulama lainnya
berdasarkan nash ayat di atas. Adapun hadits Abu Daud, Ahmad dan lain-lainnya
yang menyebutkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam bersabda :
إِذَا سَمِعَ
أَحُدُكُمُ الْنِدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ
حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Apabila
salah seorang dari kalian mendengar panggilan (adzan) dan bejana berada di
tangannya maka janganlah ia meletakkannya sampai ia menyelesaikan hajatnya
(dari bejana tersebut).”
Hadits ini adalah
hadits yang lemah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Hatim. Baca Al-‘Ilal
1/123 no 340 dan 1/256 no 756 dan An-Nashihah Vol. 02 rubrik Hadits.
Dan
andaikata hadits ini shohih maka maknanya tidak bisa dipahami secara
zhohir-nya tapi harus dipahami sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
Al-Baihaqy dalam Sunanul Kubra 4/218 bahwa yang diinginkan dari
hadits adalah ia boleh minum apabila diketahui bahwa si muadzdzin
mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar shubuh, demikianlah menurut
kebanyakan para ‘ulama. Wallahu A’lam.
*
Apabila seeorang ragu apakah waktu subuh telah masuk atau tidak, maka
diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin bahwa waktu subuh telah masuk.
Hal ini
berdasarkan firman Allah :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan
dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam
yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Ayat ini
memberikan pengertian apabila fajar subuh telah jelas nampak maka harus
berhenti dari makan dan minum, adapun kalau belum jelas nampak seperti yang
terjadi pada orang yang ragu di atas masih boleh makan dan minum.
5.
Perkara-Perkara Yang Wajib Ditinggalkan Oleh Orang Yang Berpuasa
*
Diwajibkan atas orang yang berpuasa untuk meninggalkan makan, minum dan
hubungan seksual. Hal ini tentunya sangat dimaklumi berdasarkan firman Allah :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan
dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam
yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan dalam
hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary
dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam menegaskan :
كُلُّ عَمَلِ
ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشَرَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ
ضِعْفٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ
بِهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Setiap
amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus
kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya
ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang
yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh
hadits bagi Imam Muslim)
*
Diwajibkan meninggalkan perkataan dusta, makan harta riba dan mengadu domba.
*
Juga diharuskan meninggalkan segala perkara yang sia-sia dan tidak berguna.
Dua point di
atas berdasarkan dalil-dalil umum akan larangan melakukan perkara-perkara di
atas, dan secara khusus menyangkut puasa Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah menjelaskan dalam
hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary
:
مَنْ لَمْ
يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang
tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidak ada
hajat/keperluan padanya apabila ia meninggalkan makan dan minumnya (yaitu pada
puasanya, -pent.).”
Dan juga
dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu
Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
لَيْسَ
الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشَّرَابِ, إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَفَثِ
“Bukanlah
puasa itu sekedar (menahan) dari makan dan minumannya, namun puasa itu hanyalah
(menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”
*
Meninggalkan puasa wishol.
Puasa wishol
artinya menyambung puasa dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka.
Puasa wishol adalah haram atas umat ini kecuali bagi Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menurut pendapat yang paling
kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal tersebut
berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar, Abu Hurairah, ‘Aisyah dan Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhum riwayat Al-Bukhary dan
Muslim. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam menyatakan :
نَهَى
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْوِصَالِ
قَالُوْا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ : إِنِّيْ لَسْتُ مِثْلَكُمْ إِنِّيْ أُطْعَمُ
وَأُسْقَى
“Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari
puasa wishol, maka para sahabat berkata : “Sesungguhnya engkau melakukan
wishol?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya saya tidak seperti kalian saya
diberi (kekuatan) makan dan minum.”
6. Perkara-Perkara Yang Jika
Terdapat Pada Orang Yang Berpuasa Boleh Baginya Untuk Berpuasa.
*
Orang yang bangun kesiangan dalam keadaan junub.
Diperbolehkan
baginya untuk berpuasa berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu
‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim :
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلََيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ
الْفَجْرُوَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُوْمُ
“Sesungguhnya
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
kadang-kadang dijumpai oleh waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari
istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.”
Tidak ada
perbedaan apakah dia junub sebab mimpi atau sebab berhubungan. Demikian pula
wanita yang haid atau nifas yang telah suci sebelum terbit fajar akan tetapi
dia belum sempat mandi takut kesiangan dia juga boleh berpuasa menurut pendapat
yang paling kuat di kalangan para ‘ulama berdasarkan hadits di atas.
*
Juga diperbolehkan untuk bersiwak bahkan hal tersebut merupakan sunnah, apakah
menggunakan kayu siwak atau dengan sikat gigi.
*
Dan juga dibolehkan menyikat gigi dengan pasta gigi, tetapi dengan menjaga
jangan sampai menelan sesuatu ke dalam kerongkongannya dan juga jangan
mempergunakan pasta gigi yang mempunyai pengaruh kuat ke dalam perut dan tidak
bisa diatasi.
Dua point di
atas berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan akan disunnahkannya
bersiwak seperti hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat
Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam bersabda :
لَوْلَا أَنْ
أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صُلَاةٍ
“Andaikata
tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk
bersiwak setiap hendak sholat.”
Dan dalam
riwayat lain Malik, Ahmad, An-Nasa`i dan lain-lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dengan lafadz :
َوْلَا أَنْ
أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Andaikata
tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak
bersama setiap wudhu`.”
Dua hadits
ini menunjukkan sunnah bersiwak secara mutlak tanpa membedakan apakah dalam
keadaan berpuasa atau tidak.
*
Boleh berkumur-kumur dan menghirup air ketika berwudhu`, dengan ketentuan tidak
terlalu dalam dan berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam
kerongkongan. Juga tidak ada larangan untuk berkumur-kumur disebabkan teriknya
matahari sepanjang tidak menelan air ke kerongkongan. Seluruh hal ini
berdasarkan hadits shohih dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu
‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`i, Ibnu Majah dan
lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam menyatakan :
وَبَالِغْ
فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Dan
bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air kecuali jika engkau dalam
keadaan puasa.”
Dan
hadits-hadits lainnya yang menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur dan
menghirup air dalam wudhu`, juga datang dengan bentuk umum tanpa membedakan
dalam keadaan berpuasa atau tidak.
*
Juga boleh mandi dalam keadaan berpuasa bahkan juga boleh berenang sepanjang ia
menjaga tidak tertelannya air ke dalam tenggorokannya.
*
Dan juga boleh bercelak untuk mata ketika berpuasa.
Dua point di
atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarangnya.
*
Dan juga boleh memeluk/bersentuhan dan mencium istri bila mampu menguasai
dirinya. Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
Hal ini
berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat
Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam bersabda :
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ
صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ كَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Adalah Nabi
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam mencium dalam
keadaan berpuasa dan memeluk dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang
yang paling mampu menguasai syahwatnya.”
* Boleh
menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh
mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. Adapun dahak
tidaklah membatalkan puasa kalau ditelan, tetapi menelan dahak tidak boleh
karena ia adalah kotoran yang membahayakan tubuh.
*
Boleh mencium bau-bauan apakah itu bau makanan, bau parfum dan lain-lain.
Dua point di
atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarang.
*
Boleh mencicipi masakan dengan ketentuan menjaganya jangan sampai masuk ke
dalam tenggorokan dan kembali mengeluarkannya. Hal ini berdasarkan perkataan
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai
hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya
:
لَا بَأْسَ
أَنْ يَذُوْقَ الصَّائِمُ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ الَّذِيْ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ
مَالَمْ يُدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidak
apa-apa bagi orang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu yang ia ingin beli
sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokannya.”
* Boleh
bersuntik dengan apa saja yang tidak mengandung makna makanan dan minuman
seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus, dan lain-lainnya.
Hal ini
boleh karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan
puasa.
bersambung
…….
sumber : http://an-nashihah.com/?p=99
0 komentar:
Posting Komentar
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.